Selasa, 20 Juli 2010

Kisah Seorang Yang Masuk Surga Padahal Belum Shalat Satu Raka’at pun

Tatkala Rasulullah mengadakan pengepungan terhadap beberapa benteng Khaibar, datang seorang penggembala yang berwajah hitam bersama kambing-kambing gembalaannya. Dia bekerja dengan orang-orang Yahudi di benteng itu sebagai orang upahan. Lalu dia berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, paparkan kepadaku apa itu Islam.” Lantas beliau memaparkannya secara panjang lebar, maka orang itu pun masuk Islam.

Tatkala sudah masuk Islam, dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini seorang upahan yang bekerja pada pemilik kambing-kambing ini sebagai amanat bagiku. Apa yang seharusnya aku perbuat.?”

Beliau menjawab, “Lemparkan pasir ke wajah-wajahnya, pasti ia akan kembali lagi ke tuannya.” Maka, si penggembala berkulit hitam ini mengambil segenggam kerikil, lalu melemparkannya ke arah wajah kambing-kambing tersebut seraya berkata, ‘pulanglah ke tuan kalian, demi Allah, aku tidak akan pernah sudi lagi menemani kalian.” Maka kambing-kambing itu pun pergi secara bergerombolan seakan ada orang yang menggiringnya hingga semuanya masuk ke benteng itu.

Setelah itu, si penggembala maju ke arah benteng itu untuk ikut serta berperang bersama kaum Muslimin namun dia terkena lemparan batu keras yang kemudian merenggut nyawanya, padahal dia belum sempat shalat untuk Allah walaupun satu raka’at.

Kemudian jenazahnya dibawa ke samping Rasulullah SAW., dalam kondisi tertutup dengan pakaian yang terlilit. Lalu beliau yang ketika itu bersama sebagian para shahabatnya menoleh ke arahnya kemudian berpaling. Mereka lantas berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau berpaling darinya.?”

Beliau menjawab, “Sesungguhnya dia sekarang bersama isterinya, bidadari cantik yang sedang menggerak-gerakkan badannya untuk menghilangkan debu yang menempel.”

(SUMBER: Mi`ah Qishshah Wa Qishshah, karya Muhammad Amîn al-Jundy, Juz.II, h.19-20)

Minggu, 18 Juli 2010

Hukum Upacara Peringatan Malam Nisfi Sya'ban

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita, dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam pengajak ke pintu tobat dan pembawa rahmat.

Amma ba'du:

Sesungguhnya Allah telah berfirman:

"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama
bagimu." [Al-Maidah :3]

"Artinya : Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridhoi Allah? Sekirannya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka sudah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang pedih." [Asy-Syura' : 21]

Dari Aisyah radhiallahu 'anha dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, "Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak."

Dalam lafazh Muslim: "Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama), maka ia tertolak."

Dalam Shahih Muslim dari Jabir radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi pernah bersabda dalam khutbah Jum'at: Amma ba'du, sesungguhnya sebaik- baik perkataan adalah Kitab Allah (Al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, dan sejahat-jahat perbuatan (dalam agama) ialah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah (yang diada-adakan) itu adalah sesat."

Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat- Nya bagi mereka; Dia tidak mewafatkan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan. Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bid'ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para shahabat dan ulama' mengetahui hal ini, maka mengingkari perbuatan-perbuatan bid'ah dan memperingatkan kita darinya. Hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bid'ah, seperti Ibnu Wadhdhoh Ath Tharthusyi dan Abu Syaamah dan lain sebagainya.

Di antara bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid'ah mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya'ban dan mengkhususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadist-hadits tentang fadhilah malam tersebut tetapi hadits-hadits tersebut dlaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah maudhu'.

Dalam hal ini, banyak di antara para 'ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan fadhilah shalat pada hari Nisfu Sya'ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka. Pendapat para ahli Syam di antaranya Hafizh Ibnu Rajab dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif" mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya'ban adalah bid'ah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya'ban tidak ada dasar hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits- hadits dhaif.

Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini dan kami akan menukil pendapat para ahli ilmu kepada sidang pembaca sehingga masalahnya menjadi jelas; para ulama' telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunnan Rasul (Al-Hadits), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu daripadanya, maka wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah disebutkan adalah bid'ah; tidak boleh dikerjakan apabila mengajak untuk mengerjakannya atau memujinya.

Allah berfirman dalam surat An-Nisaa':

"Artinya : Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin-pemimpin) di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." [An-Nisaa': 59]

"Artinya : Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Tuhanku. Kepada-Nyala aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali." [Asy-Syuraa: 10]

"Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya." [An-Nisaa' : 65]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an yang semakna dengan ayat- ayat di atas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar supaya masalah-masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al-Qur'an dan Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang ditetapkan oleh keduanya (Al-Qur'an dan Hadits).

Demikianlah yang dikehendaki oleh Islam, dan merupakan perbuatan baik bagi seorang hamba terhadap Tuhannya, baik di dunia atau di akherat nanti, sehingga pastilah ia akan menerima balasan yang setimpal.

Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya'ban Ibnu Rajab berkata dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif", "Para Tabi'in dari ahli Syam (Syiria, sekarang) seperti Khalid bin Ma'daan, Makhul, Luqman dan lainnya pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfu Sya'ban kemudian orang- orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari mereka.

Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya cerita-cerita israiliyat, tatkala masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin; ada yang menerima dan menyetujuinya ada juga yang mengingkarinya. Golongan yang menerima adalah Ahli Bashrah dan lainyya seang golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas ulama Hijaz (Saudi Arabia, sekarang), seperti Atha' dan Ibnu Abi Malikah dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bi Aslam dari fuqaha' Madinah, yaitu ucapan Ashhabu Malik dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid'ah. Adapun pendapat ulama' ahli Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan dua pendapat:

[1]. Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya'ban dalam masjid dengan berjamah adalah mustahab (disukai Allah).
Dahulu Khalid bin Ma'daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar menyan, memakai celak dan mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di masjid. Ini disetujui oleh Ishaq bin Ruhwiyah, ia berkata: "Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara jamaah tidak bid'ah." Hal ini dicuplik oleh Harbu Al-Kirmany.

[2]. Berkumpulnya manusia pada malam Nisfu Sya'ban di masjid untuk shalat, bercerita dan berdo'a adalah makruh hukumnya, tetapi boleh jika menjalankan shalat khusus untuk dirinya sendiri. Ini pendapat Auza'iy Imam Ahlu Syam, sebagai ahli fiqh dan cendekiawan mereka. Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkanpendapat Imam Ahmad tentang malam tentang malam Nisfu Sya'ban ini,tidak diketahui."

Ada dua riwayat sebagai sebab cenderungnya diperingati malam Nisfu Sya'ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya. Riwayat lain berpendapat bahwa malam tersebut disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk tabi'in, begitu pula tentang malam Nisfu Sya'ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan tabi'in ahli fiqih Syam. Demikian maksud dari Al-Hafizh Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).

Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfu Sya'ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para shahabat. Adapun pendapat Imam Auza'iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan shalat pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dhaif, karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil-dalil syar'iy, tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada- adakannya dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi-sembunyi ataupun terang- terangan, sebab keumuman hadits Nabi:

"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (dalam agama) yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak."

Dan banyak lagi hadits-hadits yang mengingkari perbuatan bid'ah dan memperingatkan agar dijauhi.

Imam Abubakar Ath-Thurthusyiy berkata dalam bukunya, "Al-Hawadits wal Bida", "Diriwayatkan oelh Wadhdhah dari Zaid bin Aslam berkata: kami belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan malam Nisfu Sya'ban, tidak mengindahkan hadits Makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Malikah bahwasanya Ziad An Numairiy berkata: Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya'ban menyamai pahala Lailatul Qadar. Ibnu Malikah menjawab: Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat, pasti saya pukul. Ziad adalah seorang penceramah.

Al-'Allaamah Syaukani menulis dalam bukunya, Al-Fawaaidul Majmu'ah, sebagai berikut: Hadits:

"Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya'ban sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya... dan seterusnya."

Hadits ini adalah maudhu', pada lafazh-lafazhnya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu' dan perawi-perawinya majhul.

Dalam kitab "Al Mukhtashar" Syaukani melanjutkan : Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya'ban adalah batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali radhiallahu 'anhu: Jika datang malam Nisfu Sya'ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dhaif. Dalam buku Allaali' diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya'ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat. Hadits riwayat Ad Dailamiy, hadits ini maudhu' tetapi mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul dan dhaif (leman). Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu'. Dan hadits empat belas rakaat ... dan seterusnya adalah maudhu' (tidakbisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).

Para fuqaha' banyak tertipu dengan hadits-hadits di atas, seperti pengarang Ihya' Ulumuddin dan lainnya juga sebagian dari mufassirin. Telah diriwayatkan bahwa, shalat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya'ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia itu, semuanya adalah bathil/tidak benar dan haditsnya adalah maudhu'.

Anggapan itu tidak bertentangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam pergi ke Baqi' dan Tuhan turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya'ban untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing. Sesungguhnya perkataan tersebut berkisar tentang shalat pada malam itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqathi' (terputus) sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan di atas mengenai malam Nisfu Sya'ban, jadi dengan jelas bahwa shalat malam itu juga lemah dasarnya.

Al-Hafizh Al-Iraqi berkata: Hadits (yang menerangkan) tentang shalat Nisfu Sya'ban maudhu' dan pembohongan atas diri Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Dalam kitab Al Majmu', Imam Nawawi berkata: Shalat yang sering kita kenal dengan shalat Raghaib ada (berjumlah) dua belas raka'at dikerjakan antara Maghrib dan Isya' pada malam Jum'at pertama bulan Rajab; dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya'ban. Dua shalat itu adalah bid'ah dan mungkar. Tak boleh seseorang terpedaya oleh kedua hadits itu hanya karena telah disebutkan di dalam buku Quutul Quluub dan Ihya' Ulumuddin. Sebab pada dasarnya hadits-hadits tersebut batil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits, yaitu dari kalangan Aimmah yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits, dengan demikian berarti salah kaprah.

Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Ismail al Muqadaasiy telah mengarang sebuah buku yang berharga; Beliau menolak (menganggap batil) kedua hadits (tentang malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama pada bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku tersebut, sebaik mungkin. Dalam hal ini telah banyak pengapat para ahli ilmu; maka jika kita hendak memindahkan pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat sesuatu yang haq.

Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur'an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam Nisfu Sya'ban dengan pengkhususan shalat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa; itu semua adalah bid'ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya dalam syariat ini (Islam), bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat radhiallahu 'anhu. Marilah kita hayati ayat Al-Qur'an di bawah:

"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu."[Al-Maidah : 3]

Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas. Selanjutnya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-adakan sesuatu perkara dalam agama (sepeninggalku), yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak."

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah pernah bersabda: "Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum'at daripada malam-malam lainnya dengan suatu shalat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang hariny autk berpuasa daripada hari-hari lainnya, kecuali jika (sebelumnya) hari itu telah berpuasa seseorang di antara kamu." [Hadits Riwayat. Muslim]

Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum'at itu lebih baik daripada malam-malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari matahari? Hal ini berdasarkan hadits-hadits
Rasulullah yang shahih.

Tatkala Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam melarang untuk mengkhususkan shalat pada malam hari itu daripada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lain pun lebih tidak boleh dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shahih yang mengkhususkannya/menunjukkan atas kekhususannya. Menakala malam Lailatul Qadar dan malam-malam blan puasa itu disyariatkan supaya shalat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu. Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi
wasallam, bahwasanya beliau bersabda:

"Artinya : Barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada bulan Ramadhan dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat." [Muttafaqun 'alaih]

Jika seandainya malam Nisfu Sya'ban, malam Jum'at pertama pada bulan Rajab, serta malam Isra' Mi'raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tentang, pastilah Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam menunjukkan kepada umatnya atau beliau menjalankannya sendiri. Jika memang hal itu pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita; mereka tidak akan menyembunyikannya,
karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak memberi nasehat setelah para nabi.

Dari pendapat-pendapat ulama' tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah ataupun dari para shahabat tentang keutamaan malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama pada bulan Rajab. Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bid'ah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tentang adalah bid'ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra' dan Mi'raj, begitu juga tidak boleh dikhususkan dengan ibadah- ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan ibadah-ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.

Demikianlah, maka jika anda sekalian sudah mengetahui, bagaimana sekarang pendapat anda? Yang benar adalah pendapat para ulama' yang menandaskan tidak diketahuinya malam Isra' dan Mi'raj secara tepat. Omongan orang bahwa malam Isra dan Mi'raj itu jatuh pada tanggal 27 Rajab adalah batil, tidak berdasarkan pada hadits-hadits shahih. Maka benar orang yang mengatakan;

"Dan sebaik-baik suatu perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para salaf, yang telah mendapat petunjuk. Dan sehina-hina perkara (dalam agama), yaitu perkara yang diada-adakan berupa bid'ah-bid'ah."

Allahlah yang bertanggung jawab untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua, taufiq untuk tetap berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten di atasnya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, karena hanya Allah yang terbaik dan termulia.

Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba-nya dan Rasul-Nya Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam begitu pula atas keluarga dan para shahabat beliau. Amiin.

[Disalin dari kitab Waspada Terhadap Bid’ah Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Farid Ahmad Oqbah, Riyadh: Ar-Raisah Al-'Ammah li-IdaratiAl-Buhuts Al-'Ilmiah wa Al-Ifta' wa Ad-Da'wah wa Al-Irsyad, 1413 H]

Sumber : http://almanhaj.or.id

Hukum Merayakan Malam Isra' Mi'raj

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba'du,

Tidak diragukan lagi bahwa isra' mi'raj termasuk tanda-tanda kebesaran Allah yang menunjukkan kebenaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan keagungan kedudukan beliau di sisiNya, juga menujukkan kekuasaan Allah yang Mahaagung dan ketinggianNya di atas semua makhlukNya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. " [Al-Israâ: 1]

Telah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara mutawatir, bahwa beliau naik ke langit, lalu dibukakan baginya pintu-pintu langit sehingga mencapai langit yang ketujuh, kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala berbicara kepadanya dan mewajibkan shalat yang lima waktu kepadanya. Pertama-tama Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkannya lima puluh kali shalat, namun Nabi kita tidak langsung turun ke bumi, tapi beliau kembali kepadaNya dan minta diringankan, sampai akhirnya hanya lima kali saja tapi pahalanya sama dengan lima puluh kali, karena suatu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Fuji dan syukur bagi Allah atas semua nik'matNya.

Tentang kepastian terjadinya malam isra mi'raj ini tidak disebutkan dalam hadits-hadits shahih, tidak ada yang menyebutkan bahwa itu pada bulan Rajab dan tidak pula pada bulan lainnya. Semua yang memastikannya tidak benar berasal dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian menurut para ahli ilmu. Allah mempunyai hikmah tertentu dengan menjadikan manusia lupa akan kepastian tanggal kejadiannya. Kendatipun kepastiannya diketahui, kaum muslimin tidak boleh mengkhususkannya dengan suatu ibadah dan tidak boleh merayakannya, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah merayakannya dan tidak pernah mengkhususkannya. Jika perayaannya disyari'atkan, tentu Rasulullah telah menerangkannya kepada umat ini, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Dan jika itu syariatkan, tenu sudah diketahui dan dikenal serta dinukilkan dari para sahabat beliau kepada kita, karena mereka senantiasa menyampaikan segala sesuatu dari Nabi mereka yang dibutuhkan umat ini, bahkan merekalah orang-orang yang lebih dulu melaksanakan setiap kebaikan jika perayaan malam tersebut disyari'âtkan, tentulah merekalah manusia pertama yang melakukannya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling loyal terhadap sesama manusia, beliau telah menyampaikan risalah dengan sangat jelas dan telah menunaikan anamat dengan sempurna. Seandainya memuliakan malam tersebut dan merayakannya termasuk agama Allah, tentulah nabi tidak melengahkanya tidak menyembunyikan. Namun karena kenyataannya tidak demikian, maka diketahui bahwa merayakannya dan memuliakannya sama sekali bukan termasuk ajaran Islam, dan tanpa itu Allah telah menyatakan bahwa dia telah menyempurnakan untuk umat ini agamanya dan telah menyempurnakan nimatnya serta mengingkari orang yang mensyariatkan sesuatu dalam agama ini yang tidak diizinkannya. Allah telah berfirman.

"Artinya : Pada Hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmat Ku" [Al-Maâidah :3 ].

Kemudian dalam ayat lain disebutkan.

"Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah sekiranya ada ketetapan yang menentukan (dariAllah) tentulah mereka telah binasa. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih. [Asy-Syura : 21]

Telah diriwayatkan pula dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits-hadits shahih peringatan terhadap bidâh dan menjelaskan bahwa bidâh-bidâh itu sesat. Hal ini sebagai peringatan bagi umatnya tentang bahayanya yang besar dan agar mereka menjahukan diri dari melakukannya, diantaranya adalah yang disebutkan dalam Ash-Shahihain dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, dari nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak.".

Dalam riwayat Musliim disebutkan.

"Artinya : Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak." [1]

Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan, dari Jabir, ia mengatakan, bahwa dalam salah satu khutbah Jum'at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan.

"Artinya : Amma bâdu. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat." [2]

An-Nasa'i menambahkan pada riwayat ini dengan ungkapan.

"Artinya : Dan setiap yang sesat itu (tempatnya) di neraka." [3]

Dalam As-Sunan disebutkan, dari Irbadh bin Sariyah , ia berkata, "Rasulullah mengimami kami shalat Shubuh, kemudian beliau berbalik menghadap kami, lalu beliau menasehati kami dengan nasehat yang sangat mendalam sehingga membuat air mata menetes dan hati bergetar. Kami mengatakan, 'Wahai Rasulullah, tampaknya ini seperti nasehat perpisahan, maka berwasiatlah kepada kami. Beliau pun bersabda.

"Artinya : Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, taat dan patuh, walaupun yang memimpin adalah seorang budak hitam. Sesungguhnya siapa di antara kalian yang masih hidup setelah aku tiada, akan melihat banyak perselisihan, maka hendaklah kalian memegang teguh sunnahku dan sunnah Khulafa'ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah itu dengan geraham, dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perakara yang baru, karena setiap perkara baru itu adalah bid 'ah dan setiap bid'ah itu sesat'."[4]

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna dengan ini.

Telah disebutkan pula riwayat dari para sahabat beliau dan para salaf shalih setelah mereka, tentang peringatan terhadap bid'ah. Semua ini karena bid'ah itu merupakan penambahan dalam agama dan syari'at yang tidak diizinkan Allah serta merupakan tasyabbuh dengan musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi dan Nashrani dalam penambahan ritual mereka dan bid'ah mereka yang tidak diizinkan Allah, dan karena melaksanakannya merupakan pengurangan terhadap agama Islam serta tuduhan akan ketidaksempurnaannya. Tentunya dalam hal ini terkandung kerusakan yang besar, kemungkaran yang keji dan bantahan terhadap firman Allah SUbhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu." [Al-Ma'idah: 3]

Serta penentangan yang nyata terhadap hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang memperingatkan perbuatan bid'ah dan peringatan untuk menjauhinya.

Mudah-mudahan dalil-dalil yang kami kemukakan tadi sudah cukup dan memuaskan bagi setiap pencari kebenaran untuk mengingkari bid'ah ini, yakni bid'ah perayaan malam isra' mi'raj, dan mewaspadainya, bahwa perayaan ini sama sekali tidak termasuk ajaran agama Islam. Kemudian dari itu, karena Allah telah mewajibkan untuk loyal terhadap kaum muslimin, menerangkan apa-apa yang disyari'atkan Allah kepada mereka dalam agama ini serta larangan menyembunyikan ilmu, maka saya merasa perlu untuk memperingatkan saudara-saudara saya kaum muslimin terhadap bid'ah ini yang sudah menyebar ke berbagai pelosok, sampai-sampai dikira oleh sebagian orang bahwa perayaan ini termasuk agama. Hanya Allah-lah tempat meminta, semoga Allah memperbaiki kondisi semua kaum muslimin dan menganugerahi mereka pemahaman dalam masalah agama. Dan semoga Allah menunjuki kita dan mereka semua untuk senantiasa berpegang teguh dengan kebenaran dan konsisten padanya serta meninggalkan segala sesuatu yang menyelisihinya. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas itu. Shalawat, salam dan berkah semoga dilimpahkan kepada hamba dan utusanNya, Nabi kita, Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

[At-Tahdzir minal Bidaâ, hal.16-20, Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syarâiyyah Fi Al-Masaâl Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. HR. Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
[2]. HR. Muslim dalam Al-Jumuâah (867).
[3]. HR. An-NasaI dalam Al-Idain (1578).
[4]. HR. Abu Dawud dalam As-Sunnah (4607). Ibnu Majjah dalam Al-Muqaddimah (42).

Sumber : http://almanhaj.or.id

Senin, 12 Juli 2010

Nasihat Bagi Pemuda Muslim dan Penuntut Ilmu

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertama-tama aku menasihatimu dan diriku agar bertakwa kepada Allah Tabaarakan wa Ta'ala, kemudian apa saja yang menjadi bagian/cabang dari ketakwaan kepada Allah Tabaarakan wa Ta'ala seperti :

[1]. Hendaklah kamu menuntut ilmu semata-mata hanya karena ikhlas kepada Allah Jalla Jalaluhu, dengan tidak menginginkan dibalik itu balasan dan ucapan terima kasih. Tidak pula menginginkan agar menjadi pemimpin di majelis-majelis ilmu. Tujuan menuntut ilmu hanyalah untuk mencapai derajat yang Allah Jalla Jalaluhu telah khususkan bagi para ulama. Dalam firmanNya.

"Artinya : ... Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ...?" [Al-Mujaadilah : 11]

[2]. Menjauhi perkara-perkara yang dapat menggelincirkanmu, yang sebagian " Thalibul Ilmi" (para penuntut ilmu) telah terperosok dan terjatuh padanya.

Diantara perkara-perkara itu :

[a] Mereka amat cepat terkuasai oleh sifat ujub (kagum pada diri sendiri) dan terpedaya, sehingga ingin menaiki kepala mereka sendiri.

[b] Mengeluarkan fatwa untuk dirinya dan untuk orang lain sesuai dengan apa yang tampak menurut pandangannya, tanpa meminta bantuan (dari pendapat-pendapat) para ulama Salaf pendahulu ummat ini, yang telah meninggalkan "harta warisan" berupa ilmu yang menerangi dan menyinari dunia keilmuan Islam. (Dengan warisan) itu jika dijadikan sebagai alat bantu dalam upaya penyelesaian berbagai musibah/bencana yang bertumpuk sepanjang perjalanan zaman. Sebagai mana kita telah ikut menjalani/merasakannya, dimana sepanjang zaman itu dalam kondisi yang sangat gelap gulita.

Meminta bantuan dalam berpendapat dengan berpedoman pada perkataan dan pendapat Salaf, akan sangat membantu kita untuk menghilangkan berbagai kegelapan dan mengembalikan kita kepada sumber Islam yang murni, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah yang shahihah.

Sesuatu yang tidak tertutup bagi kalian bahwasannya aku hidup di suatu zaman yang mana kualami padanya dua perkara yang kontradiksi dan bertolak belakang, yaitu pada zaman dimana kaum muslimin, baik para syaikh maupun para penuntut ilmu, kaum awam ataupun yang memiliki ilmu, hidup dalam jurang taqlid, bukan saja pada madzhab, bahkan lebih dari itu bertaqlid pada nenek moyang mereka.

Sedangkan kami dalam upaya menghentikan sikap tersebut, mengajak manusia kepada al-Qur'an dan as-Sunnah. Demikian juga yang terjadi di berbagai negeri Islam. Ada beberapa orang tertentu yang mengupayakan seperti apa yang kami upayakan, sehingga kamipun hidup bagaikan "Ghuraba" (orang-orang asing) yang telah digambarkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa hadits beliau yang telah dimaklumi, seperti :

"Artinya : Sesungguhnya awal mula Islam itu sebagai suatu yang asing/aneh, dan akan kembali asing sebagaimana permulaannya, maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing"

Dalam sebagian riwayat, Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Mereka (al-Ghurabaa) adalah orang-orang shaleh yang jumlahnya sedikit sekeliling orang banyak, yang mendurhakai mereka lebih banyak dari yang mentaati mereka" [Hadits Riwayat Ahmad]

Dalam riwayat yang lain beliau bersabda :

"Artinya : Mereka orang-orang yang memperbaiki apa yang telah di rusak oleh manusia dari Sunnah-Sunnahku sepeninggalku".

Aku katakan : "Kami telah alami zaman itu, lalu kami mulai membangun sebuah pengaruh yang baik bagi dakwah yang di lakukan oleh mereka para ghuraba, dengan tujuan mengadakan perbaikan ditengah barisan para pemuda mukmin. Sehingga kami jumpai bahwa para pemuda beristiqomah dalam kesungguhan di berbagai negeri muslim, giat dalam berpegang teguh pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mengetahui keshahihannya".

Akan tetapi kegembiraan kami terhadap kebangkitan yang kami rasakan pada tahun-tahun terakhir tidak berlangsung lama. Kita telah dikejutkan dengan terjadinya sikap "berbalik", dan perubahan yang dahsyat pada diri pemuda-pemuda itu, di sebagian negeri[1]. Sikap tersebut, hampir saja memusnahkan pengaruh dan buah yang baik sebagai hasil kebangkitan ini, apa penyebabnya ? Di sinilah letak sebuah pelajaran penting, penyebabnya adalah karena mereka tertimpa oleh perasaan ujub (membanggakan diri) dan terperdaya oleh kejelasan bahwa mereka berada di atas ilmu yang shahih. Perasaan tersebut bukan saja diseputar para pemuda muslim yang terlantar, bahkan terhadap para ulama. Perasaan itu muncul tatkala merasa bahwa mereka memilki keunggulan dengan lahirnya kebangkitan ini, atas para ulama, ahli ilmu dan para syaikh yang bertebaran diberbagai belahan dunia Islam.

Sebagaimana merekapun tidak mensyukuri nikmat Allah Jalla Jalaluhu yang telah memberikan Taufik dan Petunjuk kepada mereka untuk mengenal ilmu yang benar beserta adab-adabnya. Mereka tertipu oleh diri mereka sendiri dan mengira sesungguhnya mereka telah berada pada status kedudukan dan posisi tertentu.

Merekapun mulai mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak matang alias mentah, tidak berdiri diatas sebuah pemahaman yang bersumber dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Maka tampaklah fatwa-fatwa itu dari pendapat-pendapat yang tidak matang, lalu mereka mengira bahwasanya itulah ilmu yang terambil dari al-Qur'an dan as-Sunnah, maka mereka pun tersesat dengan pendapat-pendapat itu, dan juga menyesatkan banyak orang.

Suatu hal yang tidak sama bagi kalian, akibat dari itu semuanya muncullah sekelompok orang ("suatu jama'ah") dibeberapa negeri Islam yang secara lantang mengkafirkan setiap jama'ah-jama'ah muslimin dengan filsafat-filsafat yang tidak dapat diungkapkan secara mendalam pada kesempatan yang secepat ini, apalagi tujuan kami pada kesempatan ini hanya untuk menasehati dan mengingatkan para penuntut ilmu dan para du'at (da'i).

Oleh sebab itu saya menasehati saudara-saudara kami ahli sunnah dan ahli hadits yang berada di setiap negeri muslim, agar bersabar dalam menuntut ilmu, hendaklah tidak terperdaya oleh apa yang telah mereka capai berupa ilmu yang dimilikinya. Pada hakekatnya mereka hanyalah mengikuti jalan, dan tidak hanya bersandar pada pemahaman-pemahaman murni mereka atau apa yang mereka sebut dengan "ijtihad mereka".

Saya banyak mendengar pula dari saudara-saudara kami, mereka mengucapkan kalimat itu, dengan sangat mudah dan gampang tanpa memikirkan akibatnya : "Saya berijtihad". Atau "Saya berpendapat begini" atau "Saya tidak berpendapat begitu", dan ketika anda bertanya kepada mereka ; Kamu berijtihad berdasarkan pada apa, sehingga pendapatmu begini dan begitu ? Apakah kamu bersandar pada pemahaman al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta ijma' (kesepakatan) para ulama dari kalangan Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang lainnya ? Ataukah pendapatmu ini hanya hawa nafsu dan pemahaman yang pendek dalam menganalisa dan beristidlal (pengambilan dalil)?. Inilah realitanya, berpendapat berdasarkan hawa nafsu, pemahaman yang kerdil dalam menganalisa dan beristidlal. Ini semuanya dalam keyakinanku disebabkan karena perasaan ujub, kagum pada diri sendiri dan terperdaya.

Oleh sebab itu saya jumpai di dunia Islam sebuah fenomena (gejala) yang sangat aneh, tampak pada sebagian karya-karya tulis.

Fenomena tersebut tampak dimana seorang yang tadinya sebagai musuh hadits, menjadi seorang penulis dalam ilmu hadits supaya dikatakan bahwa dia memiliki karya dalam ilmu hadits. Padahal jika anda kembali melihat tulisannya dalam ilmu yang mulia ini, anda akan jumpai sekedar kumpulan nukilan-nukilan dari sini dan dari sana, lalu jadilah sebuah karya tersebut. Nah apakah faktor pendorongnya (dalam melakukan hal ini) wahai anak muda ? Faktor pendorongnya adalah karena ingin tampak dan muncul di permukaan. Maka benarlah orang yang berkata.

"Perasaan cinta/senang untuk tampil akan mematahkan punggung (akan berkaibat buruk)"

Sekali lagi saya menasehati saudara-saudaraku para penuntut ilmu, agar menjauhi segala perangai yang tidak Islami, seperti perasaan terperdaya oleh apa yang telah diberikan kepada mereka berupa ilmu, dan janganlah terkalahkan oleh perasaan ujub terhadap diri sendiri.

Sebagai penutup nasehat ini hendaklah mereka menasehati manusia dengan cara yang terbaik, menghindar dari penggunaan cara-cara kaku dan keras di dalam berdakwah, karena kami berkeyakinan bahwasanya Allah Jalla Jalaluhu ketika berfirman.

"Artinya : Serulah manusia kejalan Rabbmu dengan hikmah dan peringatan yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik ..." [An-Nahl : 125]

Bahwa sesungguhnya Allah Jalla Jalaluhu tidaklah mengatakannya kecuali dengan kebenaran (al-haq) itu, terasa berat oleh jiwa manusia, oleh sebab itu ia cenderung menyombongkan diri untuk menerimannya, kecuali mereka yang dikehendaki oleh Allah. Maka dari itu, jika di padukan antara beratnya kebenaran pada jiwa manusia plus cara dakwah yang keras lagi kaku, ini berarti menjadikan manusia semakin jauh dari panggilan dakwah, sedangkan kalian telah mengetahui sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Bahwasanya di antara kalian ada orang-orang yang menjauhkan (manusia dari agama) ; beliau mengucapkan tiga kali".

[Nasehat ini dinukil dari kitab "Hayat al-Albani" halaman : 452-455]

[Disalin dari Majalah : as-Salafiyah, edisi ke 5/Th 1420-1421. hal 41-48, dengan judul asli "Hukmu Fiqhil Waqi' wa Ahammiyyatuhu". Ashalah, diterjemahkan oleh Mubarak BM Bamuallim LC dalam Buku "Biografi Syaikh Al-Albani Mujaddid dan Ahli Hadits Abad ini" hal. 127-150 Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i.]
_________
Foote Note.
[1] Penyusun katakan : "Sebagaimana yang terjadi di negeri ini, munculnya beberapa gelintir manusia dengan berpakaian "Salafiyah", memberikan kesan seolah-olah mereka mengajak kepada pemahaman Salaf, namum hakekatnya mereka adalah pengekor hawa nafsu dan perusak dakwah Salafiyah, akibatnya mereka hancur berkeping-keping, dan saling memakan daging temannya sendiri. Wal 'iyadzu billahi, kami mohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari nasib yang serupa

Sumber : http://almanhaj.or.id

Minggu, 11 Juli 2010

Siapa Para Ulama ?

Mungkin muncul pertanyaan, siapakah ulama itu? Hingga kini banyak perbedaan dalam menilai siapa ulama. Sehingga perlu dijelaskan siapa hakekat para ulama itu.
Mungkin muncul pertanyaan, siapakah ulama itu? Hingga kini banyak perbedaan dalam menilai siapa ulama. Sehingga perlu dijelaskan siapa hakekat para ulama itu.

Untuk itu kita akan merujuk kepada penjelasan para ulama Salafus Shaleh dan orang-orang yang menelusuri jalan mereka. Kata ulama itu sendiri merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, yang artinya orang berilmu. Untuk mengetahui siapa ulama, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu dalam istilah syariat, karena kata ilmu dalam bahasa yang berlaku sudah sangat meluas. Adapun makna ilmu dalam syariat lebih khusus yaitu mengetahui kandungan Al Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah dan ucapan para shahabat dalam menafsiri keduanya dengan mengamalkannya dan menimbulkan khasyah (takut) kepada Allah.

Imam Syafi’i berkata: “Seluruh ilmu selain Al Qur’an adalah hal yang menyibukkan kecuali hadits dan fiqh dan memahami agama. Ilmu adalah yang terdapat padanya haddatsana (telah mengkabarkan kepada kami - yakni ilmu hadits) dan selain dari padanya adalah bisikan-bisikan setan.”

Ibnu Qoyyim menyatakan: “Ilmu adalah berkata Allah, berkata Rasul-Nya, berkata para shahabat yang tiada menyelisihi akal sehat padanya.” (Al Haqidatusy-Syar’iyah: 119-120)

Dari penjelasan makna ilmu dalam syariat, maka orang alim atau ulama adalah orang yang menguasai ilmu tersebut serta mengamalkannya dan menumbuhkan rasa takut kepada Allah Subhanahuwata'ala . Oleh karenanya dahulu sebagian ulama menyatakan ulama adalah orang yang mengetahui Allah Subhanahuwata'ala dan mengetahui perintah-Nya. Ia adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahuwata'ala dan mengetahui batasan-batasan syariat-Nya serta kewajiban-kewajiban-Nya. Rabi’ bin Anas menyatakan “Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah bukanlah seorang ulama.”

Allah berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama .” (Fathir: 29)

Kesimpulannya, orang-orang yang pantas menjadi rujukan dalam masalah ini adalah yang berilmu tentang kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya serta ucapan para shahabat. Dialah yang berhak berijtihad dalam hal-hal yang baru. (Ibnu Qoyyim, I’lam Muwaqqi’in 4/21, Madarikun Nadhar 155)

Ibnu Majisyun, salah seorang murid Imam Malik mengatakan: “Dahulu (para ulama) menyatakan, ‘Tidaklah seorang itu menjadi Imam dalam hal fiqh sehingga menjadi imam dalam hal Al Qur’an dan Hadits dan tidak menjadi imam dalam hal hadits sehingga menjadi imam dalam hal fiqh.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818)

Imam Syafi’i menyatakan: “Jika datang sebuah perkara yang musykil (rumit) jangan mengajak musyawarah kecuali orang yang terpercaya dan berilmu tentang al Kitab dan Sunnah, ucapan para shahabat, pendapat para ulama’, qiyas dan bahasa Arab. (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818)

Merekalah ulama yang hakiki, bukan sekedar pemikir harakah, mubaligh penceramah, aktivis gerakan dakwah, ahli membaca kitabullah, ahli taqlid dalam madzhab fiqh, dan ulama shu’ (jahat), atau ahlu bid’ah. Tapi ulama hakiki yang istiqamah di atas Sunnah.
Wallahu a’lam

Penulis: Al Ustadz Qomar Suaidi, Lc

www.asysyariah.com

Sabtu, 10 Juli 2010

Ilmu Mawarits, Hukum Yang Terabaikan

Oleh Ustadz Armen Halim Naro


PENTINGNYA ILMU MAWARITS
Jika hukum-hukum syari’at, seperti shalat, zakat, haji dan yang lainnya dijelaskan secara global oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu diperinci oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnah, sedangkan hukum mawarits diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala secara terperinci di dalam Al-Qur’an.

Sebagai contoh, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat…” [Al-Baqarah : 43] atau :”Dan bagi Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu” [Ali-Imran : 97], baru kemudian Sunnah menjelaskan tata caranya dengan detail.

Adapun pembagian harta warisan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di awal dan di akhir surat An-Nisa. Allah sendiri yang langsung membagi warisan demi kemaslahatan mahlukNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan laki-laki memperoleh dua bagian dari perempuan, tidak ada seorangpun yang boleh menyangkal hukum dan peraturanNya, karena Dia-lah Dzat yang Maha Adil dan Bijaksana.

SEKILAS PERBANDINGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN ANTARA ADAT JAHILIYAH DENGAN ISLAM
Pada zaman Arab Jahiliyah dahulu, harta warisan berpindah ke tangan anak sulung si mayit, atau kepada saudaranya atau pamannya sepeninggalnya. Mereka tidak memberikan kepada wanita dan anak-anak. Alasan mereka, karena wanita dan anak-anak tidak bisa memelihara keamanan dan tidak bisa berperang.

Sebagaimana yang berlaku pada kedua putri Sa’ad bin Rabi Radhiyallahu ‘anhu, bahwa paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka. Ketika permasalahan tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pamannya tersebut untuk memberi kemenakannya dua pertiga, dan ibu mereka seperdelapan, dan sisanya barulah dia ambil.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Orang-orang jahiliyah menjadikan seluruh pembagian kepada laki-laki, tidak kepada perempuan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka untuk berbagi sama dalam pembagian, kemudian melebihkan di antara dua kelompok dengan menjadikan laki-laki memperoleh dua bagian perempuan. Hal itu, karena laki-laki menangggung biaya nafkah, tanggungan, beban bisnis dan usaha, serta menanggung kesusahan, Maka, layak dia memperoleh dua kali lipat dari bagian perempuan” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/433]

Pada sebagian suku di Indonesia, terutama yang mengambil nasab kepada ibu, misalnya di Minangkabau, mereka memberlakukan pembagian harta warisan kepada perempuan. Karena tugas yang semestinya diemban oleh laki-laki, ternyata harus dibebankan kepada perempuan, mulai dari pengasuhan orang tua ketika lanjut usia, sampai pada pemberian uang saku untuk kemenakan dan famili.

Karena itu, suami dianjurkan (baca : diharuskan) tinggal di rumah orang tua perempuan. Dan merupakan aib bagi suami, jika ia tinggal satu rumah dengan orang tuanya sendiri, jika memang terpaksa harus tinggal di rumah orang tua. Bahkan di sebagian daerah Minang, laki-laki dibeli dengan uang sebagaimana dibelinya barang. Setelah itu, sang suami harus lebih banyak bertandang ke rumah orang tua isteri dari pada ke rumah orang tuanya sendiri.

Fakta seperti ini berlawanan dengan adat jahiliyah Arab yang menempatkan laki-laki sangat dominan dan diuntungkan. Dan sebaliknya, pada adat Minang ini, laki-laki selalu dirugikan. Dikatakan oleh seorang ulama Minang, Buya Hamka rahimahullah dalam salah satu karangannya :”Jika ada laki-laki yang paling sengsara, maka dialah laki-laki Minang. Bagaimana tidak, sewaktu dia masih kecil yang seharusnya dia mendapatkan nasihat dan keputusan dari orang tuanya dalam semua urusannya dari sekolah hingga menikah, itu semua diambil alih oleh mamaknya (paman dari pihak ibu), ketika dia telah menikah dia menjadi semanda di rumahnya sendiri, yang duduk harus di bawah dan di tepi-tepi, ketika sudah tua renta dan mulai pula sakit-sakitan, dia harus siap-siap untuk menyingkir karena pembagian rumah dan harta hanya untuk anak perempuan, maka terpaksalah dia tidur di surau dan kalau makan harus pergi ke lapau (kedai nasi)”

Ada pula pemikiran yang menyimpang, dengan mengusung isu persamaan gender yang awalnya didengungkan para orientalis barat, kemudian di negeri kita dikembangkan oleh orang-orang Islam sendiri yang sekulit dan satu bahasa dengan kita. Pendapat aneh tersebut ialah, tentang pembagian mawarits harus disama-ratakan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan –menurut mereka- tidak adil. Pendapat seperti ini telah lama dan banyak dilontarkan tokoh-tokoh Islam yang terkontaminasi oleh pemikiran orientalis, yang kemudian diikuti dan dikembangkan oleh kelompok yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal.

Tentu saja, anggapan aneh seperti diatas tidak terbukti. Karena syari’at Islam memberlakukan keadilan dan keseimbangan, dia sampaikan semua hak kepada pemiliknya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi setiap yang mempunyai hak akan haknya. Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris” [Hadis Riwayat Abu Dawud 3565, Tirmidzi 2/16, Ibnu Majah 2713, Baihaqi 6/264, Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata “sanadnya hasan”]

Jika adat jahiliyah di luar syariat Islam hanya melihat kemaslahatan orang-orang kuat, maka Islam menjaga kemaslahatan orang-orang lemah, karena mereka yang layak dikasihi dan dilindungi. Disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya engkau lebih baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, daripada engkau biarkan mereka miskin meminta-minta kepada manusia” [Hadist Riwayat Bukhari, Bab Wasiat/2, dan Muslim, Bab Wasiat/5]

Islam juga tidak mengabaikan orang-orang kuat dan tidak menyia-nyiakan yang lemah. Setiap orang yang telah memenuhi semua syarat dan tidak ada penghalang yang menghalanginya, maka dia berhak memperoleh warisan, baik dia besar maupun kecil, laki-laki maupun perempuan, lemah maupun kuat.

Jika adat jahiliyah hanya mendahulukan kepentingan orang yang dapat memberikan manfaat, tidak akan mendapatkan warisan kecuali yang ikut serta dalam berperang dan menjaga kehormatan, atau yang menjaga orang tua dan yang menjaga tanah persukuan, maka dalam Islam tidak menapikan andil yang lain. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan, ayah-ayah kalian dan anak-anak kalian tidak akan mengetahui mana yang lebih banyak manfaatnya. Lihat An-Nisa ayat 11

Dari paparan sekilas ini, kita dapat menyimpulkan ciri khas pembagian mawarits dalam Islam sebagaimana berikut.

[1]. Ketetapan warisan merupakan peraturan yang bersifat sosial dan mengikat bagi siapa saja yang telah bersaksi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-nya dan Muhammad sebagai rasul.

[2]. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menempatkan setiap pemilik hak pada posisinya yang layak.

[3]. Dengan pembagian yang adil sesuai syariat tersebut, berarti Islam telah berusaha memperkuat jalinan persaudaraan dan memperkokohnya dengan tali silaturrahim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :” Dan orang-orang yang punya jalinan darah sebagian mereka lebih berhak dari sebagian yang lainnya, merupakan ketetapan dalam Kitab Allah”. Lihat Al-Qur’an surat Al-Anfaal ayat 75

[4].Islam sangat mempedulikan kepemilikan individu, sehingga mendorong seseorang untuk berusaha sekuat tenaga, dengan harapan orang-orang yang dia cintai akan ikut merasakan manisnya hasil usahanya tersebut. Hal seperti ini tidak didapatkan pada masa jahiliyah Arab dan hukum adapt.

[5]. Pembagian harta waris berdasarkan kebutuhan. Semakin seseorang membutuhkan kepada harta warisan, semakin banyak pula dia memperolehnya. Oleh karena itu, laki-laki memperoleh bagian lebih besar, karena laki-laki lebih membutuhkannya daripada perempuan.

ANCAMAN JIKA TIDAK MENGGUNAKAN HUKUM ISLAM DALAM PEMBAGIAN WARISAN
Orang yang tidak memakai hukum mawarits dalam pembagian hartanya, sama halnya dengan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ancaman terhadap mereka sama dengan ancaman terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [Al-Maidah : 44]

“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zhallim” [Al-Maidah : 45]

“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [Al-Maidah : 47]

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Pernyataan tegas (dalam permasalahan ini) ialah, barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala disertai pengingkaran, sedangkan ia mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan hukum tersebut, sebagaimana yang diperbuat oleh Yahudi, maka dia telah kufur. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala karena lebih condong kepada hawa nafsu tanpa pengingkaran (terhadap hukum tersebut), maka dia telah berbuat zhalim atau fasik” [Zadul Masir 2/366]

Dalam masalah pembagian harta waris, secara khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan ancaman bagi orang yang menetapkan pembagian harta waris apabila tidak berdasarkan hukum Allah. Allah Suhanahu wa Ta’ala berfirman setelah ayat mawarits.

“Artinya ; (Hukum-hukum mawarits tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukannya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa 13-14]

Ayat di atas menerangkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan surga bagi orang yang membagi harta waris sesuai ketentuannya. Sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam setiap orang yang melampaui batas, tidak memperdulikan atau berpaling, dan menambah atau mengurangi dengan adzab yang sangat pedih.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasuluillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :”Seseorang beramal dengan amal orang yang shalih selamah tujuh puluh tahun. Kemudian ketika berwasiat, ia melakukan kezhaliman dalam wasiatnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup amalannya dengan seburuk-buruk amalan, hingga membuatnya masuk neraka. Dan sesungguhnya, seseorang beramal dengan amal orang fasik selama tujuh puluh tahun, kemudian dia berlaku adil dalam wasiatnya, niscaya ia dapat menutup amalnya dengan amal yang terbaik, sehingga dia masuk surga” Abu Hurairah berkata : “bacalah kalau kalian mau”. Kemudian beliau membaca ayat di atas. [Hadits riwayat Abu Dawud, 2867, Ibnu Majah 22/3/2703 dan Ahmad /447/7728. Ahmad Syakir berkata, “Sanadnya Shahih”]

Demikian secara singkat pembahasan ilmu mawarits yang sangat penting bagi kaum Muslimin. Sebagi pengingat, supaya kita tidak melalaikannya. Dan mudah-mudahan bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
______
Maraji.
[1]. Tafsir Al-Qur’anul Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal Hikam
[2]. Tafsir Zadul Masir, Ibnu Jauzi
[3]. Irwa’ul Ghalil Fi Takhrijil Manaris Sabil, Al-Albani, Al-Maktabul Islami
[4]. At-Tahqiqatul Mardhiah Fil Mabahits Al-Faradhiyah, Shalih Al-fauzan, Maktabah Al-Ma’arif
[5]. Tashil Al-Mawarits wal Washaya, Abdul Karim Muhammad Nashr, Maktabah Haramain

Sumber : http://almanhaj.or.id

Rabu, 07 Juli 2010

Kajian Ilmiah Masyayikh Timur Tengah di Bantul (10-12 Juli 2010)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله
وبعد

Segala puji hanya bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan shahabat beliau, serta yang mengikuti jalan beliau hingga hari akhir.

Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah semata, tahun ini Allah memberikan kenikmatan kepada kaum muslimin di Indonesia secara khusus dengan rencana kehadiran para ulama dari Timur Tengah, insya Allah.

Kehadiran para ulama ini dikemas dalam acara Kajian Ilmiah Nasional Ahlus Sunnah wal Jamaah yang telah beberapa kali diselenggarakan,
walhamdulillah.

Berikut ini rincian waktu dan tempat pelaksanaannya.

I. Tabligh Akbar Nasional Bersama Ulama Ahlussunnah dari Timur Tengah

Pembicara:
1. Asy-Syaikh Dr. Abdullah Al-Bukhari (Dosen Univ. Islam Madinah, dalam konfirmasi)
2. Asy-Syaikh Dr. Muhammad Umar Bazmul (Dosen Univ. Ummul Qura, Makkah)
3. Asy-Syaikh Dr. Khalid Adz-Dzafiri (Ulama Ahlussunnah dari Kuwait)

Peserta :
UMUM : PUTRA & PUTRI *)

Kontribusi :
GRATIS

Waktu :
Sabtu—Senin, 27—29 Rajab 1431 H/10 — 12 Juli 2010

Tempat :
Masjid Agung Manunggal Bantul di Jl. Jendral Sudirman No. 1, Bantul

II. Daurah Asatidzah

Waktu : Kamis—Ahad, 25 Rajab—6 Sya’ban 1431 H/8—18 Juli 2010
Tempat : Kompleks PP. Al Anshor, Wonosalam, Sukoharjo, Ngaglik, Sleman, DIY.

Penyelenggara :
Panitia Dauroh Ilmiyah Nasional Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Jl. Godean Km 5 Gg Kenanga 26 B, Patran, RT 01/01, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY.

Kontak Person :
Daurah Umum 0274 7453237
Daurah Asatidz 0813 2802 2770
Informasi Umum: 0857 4756 6736
Informasi Paltalk : 0813 2856 1738.

*** Insya Allah Kajian Ini akan disiarkan Live via Internet, dengan software Paltalk ( petunjuk: http://www.salafy.or.id/upload/paltalk.zip ). Di Room Religion & Spirituality – Islam – Salafiyyin dengan akun “salafiyyin” ***

>>> Diharapkan menyebarkan informasi ini secara luas dengan alamat halaman situs ini http://daurah.salafy.or.id. Apabila ada perubahan, insya Allah akan diinformasikan lewat situs ini atau majalah Asy Syariah. Update terakhir 5 Juni 2010 pukul 08.38 WIB <<<

Demikian pengumuman ini semoga bermanfaat.

Redaksi Salafy.or.id

Catatan :
- Rute menuju lokasi
1. Rute menuju lokasi dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Solo via pesawat :
a. Menuju Bandara Adisutjipto, Jogjakarta
b. Naik taksi/ojek/kendaraan ke terminal Giwangan, Jogjakarta
c. Ikuti rute menuju lokasi Jogjakarta no 6

2. Rute menuju lokasi dari Jakarta, Surabaya, Solo via bus :
a. Turun di terminal Giwangan, Jogjakarta
b. Ikuti rute menuju lokasi Jogjakarta no 6

3. Rute menuju lokasi dari Semarang via bus :
a. Turun di terminal Jombor, naik bus kota jurusan terminal Giwangan, Jogjakarta
b. Ikuti rute menuju lokasi Jogjakarta no 6

4. Rute menuju lokasi dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Solo via kereta api :
a. Menuju stasiun Tugu/Lempuyangan, Jogjakarta
b. Naik bus kota menuju terminal Giwangan, Jogjakarta
c. Ikuti rute menuju lokasi Jogjakarta no 6

5. Rute menuju lokasi dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Solo via kendaraan pribadi :
a. Dari Jakarta, Purwokerto, Cilacap, Semarang, Surabaya, menuju Jogjakarta, setelah masuk Jogjakarta, temukan plang ke kota Bantul yang ada di Jl. Ringroad Selatan, perempatan Dongkelan.
b. Lantas arahkan kendaraan ke selatan masuk Jalan Bantul untuk menuju ke kota Bantul, sampai gapura kota Bantul. Ikuti jalan sampai perempatan pertama (Klodran). Lokasi masjid Agung Manunggal, Bantul dari utara di sebelah kanan

6. Rute menuju lokasi dari sekitar Jogjakarta :
a. Dari terminal Jombor/halte Trans Jogja, ke terminal Giwangan Jogjakarta, naik bus Koperasi Abadi jurusan Bantul turun di perempatan Klodran (Masjid Agung Bantul)
b. Dari terminal Giwangan Jogjakarta, naik bus Koperasi Abadi jurusan Bantul turun di perempatan Klodran (Masjid Agung Bantul)
c. Dari arah Semarang turun di perempatan Dongkelan (Jl. Ringroad Selatan), naik bus Koperasi Abadi turun di perempatan Klodran (Masjid Agung Bantul)

*) Peserta PUTRI dapat mendengarkan relay live di beberapa tempat sbb :
a. Tarbiyatul Aulad Ibnu Taimiyyah
Jl. Palagan Tentara Pelajar, Sedan, no 99 C RT 06/34. Sleman

b. Ma’had Ar Ridlo
Jl. Parangtritis km 6, RT 6/RW 46, Dagaran, Sewon Bantul

INFO TAMBAHAN

Insya Allah disiarkan LIVE:
DENGAR ONLINE melalui RADIO SYIAR SUNNAH http://live.syiarsunnah.com

http://radio.syiarsunnah.com:8500/listen.pls

LIVE RELAY KHUSUS AKHWAT & UMMAHAT :
Insya Allah disediakan tempat khusus akhwat dan ummahat untuk dapat mengikuti dauroh ini berlokasi di:
TK ISLAM DARUSSUNNAH d/a Nitipuran No.285 Gg.Trajumas Rt.08 Dk.Sonosewu YOGYAKARTA (Telp.0274-6865450)
Petunjuk: dari Wirobrajan ke Soto Kadipiro Jl.Wates ke Barat lagi 50 m pertigaan pertama belok kiri/ke selatan (jl Nitipuran) masuk 200 m sampai gang pertama sebelah kiri ada gapura (Gg.Trajumas sebelah puskesmas) masuk ke Timur 20 m, lokasi TK sebelah kanan/selatan jalan. (di belakang/selatan bangunan toko Al-Ilmu).

Sumber:

http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/lain-lain/kajian-ilmiah-masyayikh-ahlus-sunnah-wal-jamaah-yogyakarta-10-12-juli-2010